Setiap perempuan normal pasti menginginkan pasangan hidup dalam sebuah lembaga perkawinan. Bahkan, keinginan tersebut boleh jadi sudah mulai tertanam saat usia remaja, saat pubertas merasukinya, saat ketertarikan dan kebutuhan terhadap lawan jenis, baik secara psikologis maupun biologis, muncul. Apabila mereka ditanya, laki-laki seperti apa yang diinginkan, sebagian besar pasti mendambakan laki-laki yang lebih matang darinya. Matang secara psikologis, spiritual, dan...usia.
Keinginan perempuan memiliki suami yang lebih matang (tua) adalah keinginan yang wajar. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab.
Faktor pertama adalah realita sosial dan kebiasaan masyarakat yang ada. Sejak zaman dulu, keumuman pasangan suami-istri adalah suami lebih tua dari sang istri. Bahkan, tidak jarang ditemui usia suami perempuan tersebut hampir sama dengan ayahnya.
Faktor kedua adalah kondisi fisiologis perempuan. Secara fisiologis, perempuan lebih cepat “aus” daripada laki-laki. Taruhlah usia produktif perempuan sampai 45 tahun. Setelah manupouse datang, fungsi fisiologis perempuan (terutama fungsi reproduksi) mengalami perubahan yang signifikan. Padahal, di usia tersebut laki-laki nyaris belum banyak terjadi perubahan. Paling banter sedikit uban, penurunan stamina dan keriput yang belum kentara. Tengoklah Yusril dan Koes Hendratmo yang begitu PD menikah dengan perempuan yang pantas menjadi putri mereka.
Faktor ketiga terkait dengan fungsi laki-laki dalam keluarga. Laki-laki adalah pemimpin, imam dan penanggung jawab seluruh anggota keluarga. Umumnya, pemimpin memiliki kelebihan secara kapabilitas dan akuntabilitas dibandingkan orang yang dipimpin. Salah satu sumber kelebihan tersebut adalah pengalaman. Artinya, secara kewajaran seseorang yang lebih banyak pengalamannya lebih mampu memimpin. Logikanya, semakin banyak usia, semakin banyak pengalaman. Yah, meski kenyataannya banyak juga yang berpengalaman tetapi tidak belajar dari pengalaman tersebut. Semakin tua tetapi tidak semakin dewasa.
Faktor keempat adalah kecenderungan laki-laki dalam memilih perempuan. Umumnya, laki-laki memilih pasangan yang lebih muda darinya. Bukan sekedar selera, tetapi memilih pasangan yang lebih muda jelas lebih “aman” . Aman secara harga diri, kepemimpinan, dan keberlangsungan hubungan. Berdasarkan faktor-faktor di atas, pilihan perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang lebih muda dianggap “berbeda” dan kadang membuat alis terangkat karena tidak biasa.
Kenyataannya saat ini, perempuan menikah dengan laki-laki yang lebih muda tidak sulit ditemukan. Keberanian mereka keluar dari keumuman dipengaruhi beberapa sebab.
Sebab pertama, konsep hubungan laki-laki dan perempuan tidak lagi sepatriarkhis zaman orang tua kita. Konsep kepemimpinan laki-laki dalam keluarga juga tidak sekaku slogan “surga nunut (numpang) neraka katut (ikut)”.
Sebab kedua, publikasi media terhadap kehidupan publik figur memberikan kontribusi dalam mengubah pola pikir masyarakat. Publik figur seringkali dijadikan tolok ukur dan standar perilaku masyarakat. Termasuk di dalamnya, pernikahan. Aston Kutcher-Demi Moore, Onky Alexander-Paula, Darius-Donna Agnesia, hanyalah sedikit publik figur yang usia si perempuan lebih tua dari sang laki-laki. Setidaknya, sampai saat ini pasangan tersebut masih harmonis. Keberanian publik figur tersebut mendorong keberanian perempuan pada umumnya.
Sebab ketiga, realita kedewasaan seorang laki-laki yang tidak selalu linier dengan usianya. Tidak jarang ditemukan, seorang laki-laki yang lebih muda lebih siap menjadi kepala keluarga. Jika sudah begini, usia menjadi soal kesekian bahkan nyaris terabaikan.
Sebab keempat, sekarang ini ada sebagian laki-laki yang ingin mempunyai pasangan lebih tua darinya. Alasan mereka simpel saja. Perempuan yang lebih tua lebih keibuan, lebih bisa “ngemong” dan lebih bisa menjamin kebutuhan sifat laki-laki yang cenderung ingin tetap dimanja, diperhatikan, dan dilayani seperti anak kecil.
Menikah dengan dengan laki-laki yang lebih tua adalah pilihan. Menikah dengan laki-laki yang lebih muda juga pilihan. Tidak ada jaminan bahwa menikah dengan laki-laki yang lebih tua lebih besar keberhasilannya, kebahagiaannya dan kestabilannya dibandingkan laki-laki yang lebih muda. Bagaimana dengan faktor fisiologis yang bahkan dengan laki-laki yang lebih tua saja perempuan tetap “kalah”?.
Nabi Muhammad dan Khadijah adalah bukti paling baik yang bisa diambil. Bayangkan, meski usia Khadijah hampir dua kali suaminya, ia tetap menjadi istri paling dicintai, dikenang dan tak tergantikan. Bahkan, meski setelah Khadijah meninggal dan Nabi menikah dengan banyak perempuan termasuk ‘Aisyah yang cantik, muda belia dan… perawan. Begitu cintanya, Nabi masih tetap menjalin hubungan dan sering membagi hadiah kepada orang-orang dekat almarhum istrinya.
Apa yang membuat Khadijah begitu istimewa sampai-sampai Nabi katakan, “Demi Allah, Allah tidak pernah memberikan ganti yang lebih baik dari dia.”?. Faktor fisik? Jelas bukan. OK, boleh jadi karena Khadijah adalah istri pertama, cinta pertama dan perempuan pertama yang sangat dekat secara pribadi dengan beliau.
Tapi, yang paling diingat beliau adalah support moral dan material Khadijah yang luar biasa ketika beliau menghadapi saat-saat sulit. Artinya, kemenangan perempuan untuk merebut perhatian laki-laki bukan semata fisik. Fisik sangat temporer. Sebentar saja bisa berubah. Kemenangan tersebut justru diraih dengan cinta dan perhatian. Memenangkan perasaan yang pastilah lebih permanen. Buktinya, meski Maria lebih seksi, cantik dan muda, Yahya tetap kembali ke Syarmila.
Jadi, menikah dengan laki-laki yang lebih muda tetaplah sebuah kemungkinan yang membahagiakan. Tentu saja, laki-laki tersebut memang dewasa dan kita sebagai perempuan siap memenangkan cintanya melalui kekuatan cinta juga.
source : http://nurulfhuda.multiply.com
http://www.pks-jaksel.or.id/Article1890.html
0 comments:
Post a Comment